Minggu, 24 April 2011

MARAH YANG TERPUJI


Tidak semua marah merupakan sifat tercela, ada sifat marah yang dibolehkan bahkan merupakan sebuah keharusan. Marah yang dibolehkan dan merupakan sifat terpuji itu adalah marah karena Allah Subhanahu wata’ala.Yaitu marah yang disebabkan dilanggarnya kehormatan agama,  seperti marah ketika kesucian aqidah ini dihujat, marah karena dilecehkannya Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, marah karena syari’at Allah dipermainkan, atau marah karena dilecehkannya kehormatan, darah dan harta  kaum muslimin.  
Sebagai contoh sederhana adalah bahwa kita harus marah melihat anak belum melaksanakan sholat padahal dia sudah kelas enam SD, bahkan sebagai upaya mendidik, boleh  memukulnya dalam batas-batas kewajaran. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Dawud dari Ibnu Amr bin Ash  Rdiallahu Anhu  bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Perintahkanlah anakmu melaksanakan sholat pada usia tujuh tahun dan pukullah ia - jika belum melaksanakan sholat - pada usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”  Seorang pendidik  atau pimpinan  boleh memarahi anak buahnya bahkan memberikan hukuman jika ia melanggar aturan-aturan syar’i. Karena ’marah’  memang salah satu tugas pemimpin dalam menegakkan kedisiplinan. Tentu saja marah yang dimkasud adalah marah yang mengandung nilai-nilai tarbawi  atau bernilai edukasi, bukan marah yang disertai dendam kesumat dan kebencian sampai ke ubun-ubun. Demikian juga marah terhadap penguasa zalim yang menindas rakyatnya, adalah sebuah kemaraha dalam upaya memperbaiki keadaan. Sebagaimana kemarahan yang diekspresikan jutaan rakyat Mesir dalam menumbangkan penguasa dikatator, dan mengekspresikannya dalam aksi besar pada sebuah hari yang mereka namakan dengan Yaumul Ghodob atau hari kemarahan, dan akhirnya kemarahan itu pun menjadi jalan untuk mengusir pemimpin dictator yang telah puluhan tahun berkuasa.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang tidak pernah marah, namun ketika kehormatan agama ini diganggu, kemarahan beliau tak dapat dibendung. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari disebutkan bahwa: ”Sesungguhnya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang lebih pemalu dari para gadis pingitan, jika melihat sesuatu yang dibencinya, akan diketahui dari wajahnya.” Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa: ”Sesungguhnya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam tidak pernah marah terhadap sesuatu, namun jik larangan-larngan Allah dilanggar, maka ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya.” (Riwayat Imam al-Bukhari, Muslimdan yang lainnya).
Namun dalam mengekspresikan kemarahan harus melihat contoh dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam. Bahwa marah terhadap kemaksiatan itu arus tetap berada dalam batas-batas kewajaran atau masih dalam koridor syar’i. Sehingga marah itu tetap bernilai ibadah. Dengan kata lain jangan sampai mengekspresikan kemarahan - dalam rangka amar ma’rup nahyi munkar - dilakukan secara membabi buta, menghantam ke sana-kemari yang justeru memperparah keadaan. Rasululah dan para sahabatnya telah memberikan contoh dalam ini. Dalam sebuah peperangan salah seorang sahabat tidak jadi menghabisi seoarng kafir yang sudah terdesak karena si kafir itu meludahi muka sahabat itu, kenapa? Karena sahabat itu takut dia membunuhnya karena emosi pribadi, bukan karena Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar