Rabu, 27 April 2011

Maafi Faedah !

Maafi Faedah ! adalah juga ungkapan kekesalan yang bermakna kira-kira "Nggak ada gunanya!".  Biasanya kalimat itu diungkapkan dan ditujukan kepada orang atau anak buah yang tidak dapat menjalankan tugas sesuai keinginan boss atau kepada orang yang tidak memberikan kontribusi yang berarti baginya sehingga dikatakan pula kepadanya: Wujuduhu ka'adamihi: Keberadaannya sama dengan ketiadaannya.
Maafi Faedah!  adalah sebuah ungkapan yang  menunjukkan kesombongan sekaligus kebodohan, karena jelas-jelas Allah SWT. menciptakan semua makhluknya dengan faedah tertentu. Dia telah berfirman dalam al-Quran: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah[34], dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (al-Baqarah:26)

          Pada sisi tertentu boleh jadi seseorang  tidak mempunyai kontribusi yang berarti,  tetapi pada sisi lain ia dapat memberikan sesuatu yang sangat signifkan tanpa sepengetahuan orang lain bahkan mungkin dia sendiri tidak mengetahui kemanfaatan dirinya…
Maafi Faedah! Boleh jadi sebuah sebuah ungkapan yang memacu seseorang untuk lebih memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Bukankah Rasulullah SAW  memberikan arahan kepada kita: "Khairunnas anfa'uhum linnas" (sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan bagi manusia).  Keberadaan kita harus dirasakan kemanfaatannya, terlebih lagi bagi seorang  Mukmin. Rasulullah mengatakan bahwa seorang yang beriman semua gerakanya dan  setiap jengkal waktunya  selalu memberikan manfaat bagi orang lain: "Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti lebah, jika ia hinggap meninggalkan madu..." Dan sebaliknya janganlah menjadi seperti  lalat yang  setiap hinggap meninggalkan penyakit.
Jadi, jika tidak memberikan manfaat  janganlah menjadi  sumber keresahan, sumber qodoya dan sumber segala persoalan. jadilah orang yamg memberikan manfaat, dan jangan menjadi orang yang suka memanfaatkan (ahlul intifa') atau menjadi orang yang selalu  dimanfaatkan. Dan jadilah orang yang 'adamuhu kawujudihi -  ketiadaannya sama dengan keberadaannya, karena transfer nilai amalnya terus mengalir walau pun sudah berada di alam lain.

MA'INDAKA MUKH !!! (Sebuah Ekspresi Kemarahan)

Siang tadi salah seorang kawan kerja dimarahi  bossnya yang berambut kriting dengan kalimat kemarahan: “Ma ‘Indaka mukh !” Sang kawan merasa enjoy saja.. tentu bukan karena ma ’indahu mukh tetapi mungkin karena ia tidak faham makna kalimat itu atau sudah pasang muka tebal karena saking seringnya mendapat umpatan yang sama. Ma ‘Indaka mukh! Kalau diartikan kalimat itu kira-kira bermakna: ”Dasar nggak punya otak !” Ya, sebuah kalimat kejengkelan yang  untuk sebagian orang cukup menyakitkan.
Kemarahan  bisa diekspresikan dengan bermacam-macam cara. Bagi atasan memang mudah saja dia ngomel seenaknya, karena dia yang pegang kebijakan. Tetapi bagi karyawan bawahan hanya bisa mengelus dada atau melampiaskannya di rumah. Kalo dibiarkan tanpa pelampiasan, bisa menimbulkan stress, tumbuhnya jerawat  dan berbagai penyakit lainnya. Bagi seorang syaikh, pendidik atau murobbi tentu ungkapan kemarahannya berbeda dengan luapan kemarahan seorang sopir Metromini. Memang manakala emosi sudah naik ke ubun-ubun biasanya orang lupa pada posisinya bahkan akan ’keluar’ watak aslinya. Namun sebagai bentuk akhlak maka luapan kemarahan semestinya harus dilatih sejak kecil. Karena akhlak itu bittakholluk dan al-hilm bittahallum (santun itu harus dilatih dengan sifat santun). Ungkapan-ungkapan kalimat thoyibah harus dilatih pada anak-anak kita sejak balita dan sebaliknya menghindari mereka dari sumpah serapah dan caci maki kasar.
Ma ‘Indaka mukh! Mungkin terinspirasi dari cerita berikut: Dikisahkan bahwa dalam sebuah kecelakaan bis yang ditumpangi rombongan anggota parlemen antar negara telah menyebabkan semua penumpangnya geger otak kecuali rombongan parlemen  yang sedang melakukan studi banding tentang pembangunan gedung baru di negerinya. Sungguh menakjubkan sang dokter forensik yang memeriksanya pun heran. Kenapa? Setelah diperiksa ternyata rombongan dari negeri itu memang: Ma fi mukh !alias otaknya nggak ada.
Dalam kisah lain diceritakan bahwa  seorang pejbat koruptor yang dijatuhkan hukuman mati  ditembak  pada bagian otaknya tapi nggak mati-mati. Sang ekskutor  regu tembak heran, kenapa? Sang komandan membisiki anak buahnya itu: “Coba kau tembak  dengkulnya.” Betul saja, setelah peluru mengenai dengkulnya dia langsung koit. Kenapa?  Ternyata otaknya ada di dengkul !

Minggu, 24 April 2011

MARAH YANG TERPUJI


Tidak semua marah merupakan sifat tercela, ada sifat marah yang dibolehkan bahkan merupakan sebuah keharusan. Marah yang dibolehkan dan merupakan sifat terpuji itu adalah marah karena Allah Subhanahu wata’ala.Yaitu marah yang disebabkan dilanggarnya kehormatan agama,  seperti marah ketika kesucian aqidah ini dihujat, marah karena dilecehkannya Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, marah karena syari’at Allah dipermainkan, atau marah karena dilecehkannya kehormatan, darah dan harta  kaum muslimin.  
Sebagai contoh sederhana adalah bahwa kita harus marah melihat anak belum melaksanakan sholat padahal dia sudah kelas enam SD, bahkan sebagai upaya mendidik, boleh  memukulnya dalam batas-batas kewajaran. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Dawud dari Ibnu Amr bin Ash  Rdiallahu Anhu  bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Perintahkanlah anakmu melaksanakan sholat pada usia tujuh tahun dan pukullah ia - jika belum melaksanakan sholat - pada usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”  Seorang pendidik  atau pimpinan  boleh memarahi anak buahnya bahkan memberikan hukuman jika ia melanggar aturan-aturan syar’i. Karena ’marah’  memang salah satu tugas pemimpin dalam menegakkan kedisiplinan. Tentu saja marah yang dimkasud adalah marah yang mengandung nilai-nilai tarbawi  atau bernilai edukasi, bukan marah yang disertai dendam kesumat dan kebencian sampai ke ubun-ubun. Demikian juga marah terhadap penguasa zalim yang menindas rakyatnya, adalah sebuah kemaraha dalam upaya memperbaiki keadaan. Sebagaimana kemarahan yang diekspresikan jutaan rakyat Mesir dalam menumbangkan penguasa dikatator, dan mengekspresikannya dalam aksi besar pada sebuah hari yang mereka namakan dengan Yaumul Ghodob atau hari kemarahan, dan akhirnya kemarahan itu pun menjadi jalan untuk mengusir pemimpin dictator yang telah puluhan tahun berkuasa.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang tidak pernah marah, namun ketika kehormatan agama ini diganggu, kemarahan beliau tak dapat dibendung. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari disebutkan bahwa: ”Sesungguhnya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang lebih pemalu dari para gadis pingitan, jika melihat sesuatu yang dibencinya, akan diketahui dari wajahnya.” Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa: ”Sesungguhnya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam tidak pernah marah terhadap sesuatu, namun jik larangan-larngan Allah dilanggar, maka ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya.” (Riwayat Imam al-Bukhari, Muslimdan yang lainnya).
Namun dalam mengekspresikan kemarahan harus melihat contoh dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam. Bahwa marah terhadap kemaksiatan itu arus tetap berada dalam batas-batas kewajaran atau masih dalam koridor syar’i. Sehingga marah itu tetap bernilai ibadah. Dengan kata lain jangan sampai mengekspresikan kemarahan - dalam rangka amar ma’rup nahyi munkar - dilakukan secara membabi buta, menghantam ke sana-kemari yang justeru memperparah keadaan. Rasululah dan para sahabatnya telah memberikan contoh dalam ini. Dalam sebuah peperangan salah seorang sahabat tidak jadi menghabisi seoarng kafir yang sudah terdesak karena si kafir itu meludahi muka sahabat itu, kenapa? Karena sahabat itu takut dia membunuhnya karena emosi pribadi, bukan karena Allah...

Sabtu, 23 April 2011

NGAMBEK DAN MARAH DI JALAN DA'WAH


Ngambek  merupakan   ungkapan kemarahan terhadap suatu keadaan yang bertentangan dengan keinginan sesorang. Gejala orang yang ngambek biasanya meninggalkan begitu saja tugas atau amanah yang semestinya dia jalankan. Kemudian dia ’menghilang’ susah dihubungi, sulit diajak komunikasi sehingga menyulitkan orang lain.   Dengan bersikap ngambek mungkin seseorang ingin difahami keinginannya, namun dia tidak mau atau tidak bisa berterus terang (tidak mushorohah), dengan ’ambeknya’ itu dia bermaksud memberi pelajaran kepada orang-orang tentang sesuatu yang tidak disukainya. Ngambek juga  bisa terjadi  karena sesuatu yang ideal yang diinginkan tidak tercapai.  Seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan, atau seseorang yang tidak dapat mencapai pringkat juara, lantas dia pun ngambek. Dalam konteks organisasi, sikap ngambek biasanya terjadi ketika pendapat seseorang tidak diamini, atau ketika jabatannya digeser dalam struktur kepengurusan.  juga karena kondisi ideal yang dia harapkan tidak ditemukan sementara dia tidak sabar menunggu kondisi ideal itu dapat tercapai. Alih-alih dapat memperbaiki, justeru dengan sikap ngambek akan memperparah keadaan, bagi yang ngambek akan merugikan dirinya sendiri apalagi melampiaskan ngambeknya itu dengan mengundurkan diri dari kebersamaan orang-orang soleh dan bergabung dengan barisan syaitan. Namun sebliknya bagi seorang syaikh atau murobbi atau seorang pendidik yang bijak dapat mencermati gejala ini dan dapat membujuk anak buahnya yang ngambek sehingga dapat berterus terang dan dapat kembali ke asolah da’wah ini, jangan justeru bersikap ngambek juga. Kalau  anak buahnya ngambek dan pemimpinnya ngambek juga, maka jadilah organisasi itu kumpulan orang-orang ngambek.
Sebenarnya sah-sah saja bila seseorang ingin ngambek, karena hal itu berkaitan dengan karakternya Namun sebagaimana misi diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, maka sebagai seorang muslim apalagi sebagai da’i ilallah, semestinya seseorang ketika telah mengislamkan diri  juga mengislamkan karakternya itu – termsuk ngambek - sehingga sesuai dengan fitrah islam. Seperti halnya dengan marah, adalah juga hak seseorang untuk marah, Tapi kita harus ingat bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW telah memberikan wasiat kepada kita melalui jawaban atas  permintaan nasihat oleh salah seorang sahabat. Sahabat itu mengatakan:”Berikanlah kepadakau sebuah wasiat” Nabi SAW   bersabda: ”Janganlah engkau marah ” Beliau pun mengulangi kalimat itu beberapa kali.
 Bila seseorang marah maka tertutuplah segala pintu kebaikan dalam dirinya, akalnya menjadi buntu, yang dia tahu hanyalah  terpenuhi tuntutan hawa nafsunya. Syaitan pun masuk melalui pintu amarah ini, menguasai dirinya dan mempermainkannya seperti anak kecil mempermainkan bola, menendangnya ke sana ke mari. Ibunu Qudamah menulis dalam bukunya  Mukhtashar Minhajul Qosidin : Ketahuilah bahwa marah merupakan bara dari api neraka. Selagi manusia disusupi marah, berarti dia disusupi syaitan, yang pernah berkata: ”Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah (al-A’raf: 12). Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Umar RA sesungguhnya dia bertanya kepada Nabi SAW: ”Apa yang dapat menjauhkanku dari kemurkaan Allah Azza Wajalla?” Dia menjawab, ”Janganlah marah.”